Melihat Alam Semesta Melalui ‘Mata’ yang Sangat Berbeda
Citra galaksi Awan Magellan Kecil yang diambil pada panjang gelombang inframerah, akan terlihat berbeda jika diamati pada panjang gelombang lainnya. ESA/NASA/JPL-Caltech/STScI |
Kita selalu dimandikan oleh cahaya bintang. Saat siang hari kita dapat melihat Matahari, cahaya yang terpantul dari permukaan dan cahaya biru Matahari yang dihamburkan di langit Bumi. Saat malam hari kita dapat melihat bintang-bintang dan cahaya Matahari yang dipantulkan oleh Bulan.
Tapi ada banyak cara untuk melihat alam semesta. Di luar panjang gelombang cahaya kasat mata, terdapat sinar gamma, sinar-X, sinar ultraviolet, inframerah, dan gelombang radio. Spektruk elektromagnetik ini memberi kita cara-cara baru untuk lebih mengapresiasi kosmos.
Sinar-X Bulan
Pernahkah melihat Bulan saat siang hari? Kita akan menemukan Bulan yang bermandikan cahaya Matahari dan langit yang berwarna biru di depannya.
Bulan di balik langit biru. Flickr/Ed Dunens, CC BY |
Sekarang siapkan instrumen sinar-X seperti ROSAT (ROentgen SATellite), maka kita akan melihat sesuatu yang menarik.
Matahari memancarkan sinar-X, sehingga kita dapat melihat sisi siang hari di Bulan dengan cukup mudah. Tapi perbedaan signifikan antara pantulan cahaya sisi siang dan sisi malam Bulan sebagai latar belakang menghasilkan siluet terhadap sinar-X. Langit sinar-X seolah ada di belakang Bulan!
Bulan yang diamati pada panjang gelombang sinar-X oleh ROSAT. Sisi malam Bulan siluet terhadap sinar-X. DARA, ESA, MPE, NASA, J.H.M.M. Schmitt |
Apa itu langit sinar-X? Sinar-X lebih energik daripada foton cahaya kasat mata, jadi sinar-X sering bersumber dari objek-objek langit yang paling panas dan ganas. Sebagian besar sinar-X dihasilkan oleh inti galaksi aktif, yang memperoleh daya dari material yang jatuh ke lubang hitam.
Dalam sinar-X, siluet Bulan terhadap sinar-X mencapai jutaan sumber, ditenagai oleh lubang hitam yang tersebar di sepanjang ruang seluas miliaran tahun cahaya.
Gelombang Radio Langit
Jika berada di belahan langit selatan dan jauh dari polusi cahaya lampu perkotaan (termasuk Bulan), maka kita dapat melihat Awan Magellan Kecil, salah satu galaksi satelit Bima Sakti kita. Dengan mata telanjang, Awan Magellan kecil terlihat seperti awan yang menyebar, tapi yang sebenarnya kita lihat adalah gabungan cahaya dari jutaan bintang yang jaraknya lebih jauh.
Gambar cahaya kasat mata Awan Magellan Kecil yang didominasi oleh cahaya bintang-bintang. ESA/Hubble dan Digitized Sky Survey/Davide De Martin |
Gelombang radio justru memberikan kita pemandangan Awan Magellan Kecil yang sangat berbeda. Nenggunakan Australian Square Kilometre Array Pathfinder yang disetel ke 1.420,4 MHz, kita tidak lagi melihat cahaya bintang-bintang, melainkan gas hidrogen.
Gelombang radio mampu melacak gas hidrogen di Awan Magellan Kecil. ANU dan CSIRO |
Molekul gas hidrogen cukup dingin sehingga atom tertambat ke elektron (tidak seperti hidrogen terionisasi). Hidrogen juga bisa mendingin dan runtuh (di bawah gaya gravitasinya sendiri) untuk menghasilkan awan gas hidrogen molekuler yang pada gilirannya memproduksi bintang-bintang baru.
Gelombang radio memungkinkan kita untuk mengamati bahan baku pembentuk bintang, dan Awan Magellan Kecil memang saat ini sedang menghasilkan bintang-bintang baru.
Merasakan Panas Melalui Gelombang Mikro
Jika alam semesta mahaluas dan usianya tak terbatas, maka seharusnya di segala arah kita akan mengarah ke permukaan bintang. Fenomena ini menghasilkan langit malam yang agak cerah. Astronom Jerman Heinrich Olbers, juga mengakui "paradoks" serupa berabad-abad yang lalu.
Gambar cahaya kasat mata langit malam hari yang didominasi oleh cahaya bintang Bima Sakti. ESO/S. Brunier, CC BY |
Saat menatap langit malam hari, kita bisa melihat bintang, planet dan galaksi Bima Sakti. Tapi sebagian besar langit malam hari berwarna hitam, yang menyediakan sebuah informasi penting.
Tapi jika kita melihat kosmos dalam panjang gelombang mikro, satelit Planck mengungkap gas dan debu yang berkilau di Bima Sakti. Dan dari segala arah selalu ada cahaya. Lantas, dari mana asalnya?
Langit dalam panjang gelombang mikro yang bersinar di segala arah. ESA, HFI & LFI consortia |
Pada panjang gelombang mikro kita dapat mengamati sisa radiasi Big Bang yang dihasilkan 380.000 tahun setelah Big Bang. Saat itu jagad raya memiliki suhu sekitar 2.700oC.
Namun, sisa radiasi yang kita lihat sekarang tidak terlihat seperti sebuah spheroid gas dengan suhu 2.700oC. Namun, kita melihat cahaya yang suhunya setara dengan minus 270oC. Mengapa begitu? Karena kita hidup di alam semesta yang terus meluas. Cahaya sisa radiasi Big Bang yang kita amati telah membentang dari panjang gelombang cahaya kasat mata ke panjang gelombang mikro berenergi rendah, sehingga menghasilkan suhu yang lebih dingin.
Gelombang Radio Planet
Jupiter adalah salah satu planet yang dapat diamati menggunakan sebuah teleskop sederhana. Kita dapat melihat pita-pita awan yang membentang di planet gas raksasa ini. Bahkan hanya dengan teropong, Galileo berhasil menemukan empat bulan Jupiter berabad-abad yang lalu.
Citra Jupiter dalam panjang gelombang cahaya kasat mata yang diambil oleh pesawat antariksa Cassini NASA. NASA/JPL/Institut Sains Antariksa |
Tapi, pemandangan Jupiter yang kurang familiar akan kitar peroleh saat saat beralih ke panjang gelombang radio. Karena teleskop radio cenderung mengungkap cahaya hangat yang pudar di Jupiter. Tapi yang benar-benar menonjol dari gelombang radio ini berasal dari bagian atas planet.
Jupiter adalah salah satu pemancar gelombang radio yang melimpah. CSIRO |
Sebagian besar emisi radio dari Jupiter diproduksi oleh radiasi sinkrotron dan siklotron, yang dihasilkan oleh akselerasi spiral elektron di medan magnet.
Di Bumi kita menggunakan akselerator partikel untuk menghasilkan radiasi semacam itu. Tapi dengan medan magnetnya yang sangat kuat, emisi radio di Jupiter terjadi secara alami (dan juga melimpah).
Synchrotron yang diproduksi oleh Jupiter begitu kuat sehingga dapat dideteksi dari Bumi, tanpa harus menggunakan teleskop radio seharga jutaan dolar. Cukup dengan peralatan astronomi yang bisa kita miliki hanya dengan beberapa ratus dolar. Jadi, kamu tidak harus menjadi seorang astronom profesional untuk memperluas pandangan tentang alam semesta di luar cahaya kasat mata.
Ditulis oleh: Michael J. I. Brown, theconversation.com
#terimakasihgoogle
Belum ada Komentar untuk "Melihat Alam Semesta Melalui ‘Mata’ yang Sangat Berbeda"
Posting Komentar